Topik : Berbahasa Sesuai dengan Ranah Pemakaiannya
Opini yang pertama : Dampak Globalisasi terhadap Sikap Bahasa
Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi; penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita; dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.
Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah; bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void); ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.
Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.
Secara kasat mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih =alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar. Bahkan, Putu Widjaja menyebutnya sebagai bencana nasional pada suatu seminar di Pusat Bahasa.
Opini yang kedua : Hubungan Bahasa Antara Masyarakat Pengguna
a. Pertama Struktrur social berpengaruh terhadap struktur bahasa. Struktur social berkaitan erat dengan aktualisasi diri sehingga perbedaan struktur bahasa di antara kelas social di dalam masyarakat disebabkan adanya keinginan untuk merasa berbeda antarindividu didalam kelompok, atau pun antar kelompok kecil didalam kelompok yang lebih luas.
b. Kedua Struktur bahasa menentukan struktur atau tingkatan social seseorang maupun sekelompok orang. Hal ini mengandung dua pengertian,yakni: (1) bentuk-bentuk lingual yang dipilih menentukan kelas social pemakainya; (2) kekompleksan struktur yang digunakan seseorang atau pun sekelompok orang menunjukkan tingkat intelektualitasnya.
Opini yang ketiga : Tindak Tutur Bahasa
Penekanan pentingnya pengungkapan dan pencarian serta spesifikasi kaedah-kaedah sosiolinguistik dalam cara yang sangat jelas (fishman dalam Ibrahim, 1995: 142). Dalam hal ini mencari kaedah-kaedah atau norma-norma yang menjelaskan serta memaksakan tingkah laku bahasa dan tingkah laku ke arah atau terhadap bahasa di dalam komunitas ujar. Kaedah pengguanaan bahasa didefinisikan kompeten komunikatif para pemakaiannya dalam arti kemampuannya menyeleksi kode yang cocok dan mode yang tepat untuk setting dan aktifitas tertentu.
Semua interaksi lingual terdapat tindak tutur (Searle dalam Aslinda 2010: 33). Interaksi lingual bukan hanya lambang, kata atau kaliamat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur.
Menurut Aslinda (2010: 34), Ada empat faktor yang menentukan tindak tutur diantaranya, adalah sebagai berikut:
1) Dengan bahasa apa dia harus bertutur,
2) Kepada siapa dia harus menyampaikan tuturan,
3) Dalam situasi bagaimana tuturan itu disampaikan, dan
4) Kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang digunakan.
Dikatakan, Tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak tutur yang dikatakan adalah sepenggal tuturan yang dihasilkan sebagai bagian terkecil dalam interaksi lingual. Tindak tutur dapat berupa pernyataan, pertanyaan, dan perintah. Dengan demikian, satu maksud tuturan perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemungkinan struktur yang ada dalam bahasa itu.
Opini yang keempat : Keanekaragaman Bahasa
Menurut Chaer (2010: 61-72) Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana (1974) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
1. Variasi bahasa
Sebagai sebuah languege sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Terjadinya keanekaragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Keanekaragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
2. Variasi dari Segi Penutur
Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga. Penggunaan istilah dialek dan bahasa dalam masyarakat umum memang seringkali bersifat ambigu.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik biasanya variasi inilah yang paling banyak dibicarakan dan paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan oleh variasi bahasa yag disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.
3. Variasi dari Segi Pemakaian
Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
4. Variasi dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam kehidupan sehari-hari kelima ragam di atas, yang dilihat dari keformalan penggunaannya, mungkin secara bergantian kita gunakan.
5. Variasi dan Segi Sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
sumber:
http://lalalmalay.blogspot.com/
http://mulyanapgsdbahasa.blogspot.com
http://eni-jola.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar